Utamakan Kelembutan, Baru Ketegasan
Pendidikan dan pembinaan yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam selalu diawali dengan kelembutan. Bahkan Nabi Nuh pun tetap lemah lembut terhadap anaknya yang durhaka. Beliau memanggil anaknya dengan sapaan yang paling halus yaitu “yaa bunayya”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha (yang artinya):
“Wahai Aisyah, berlemah lembutlah! Sesungguhnya apabila Allah menghendaki kebaikan bagi suatu keluarga, Dia akan menunjuki mereka kepada pintu kelembutan.” (HR. Ahmad: 23591)
Dan dalam suatu riwayat disebutkan (yang artinya):
“Jika Allah menghendaki kebaikan pada sebuah keluarga maka Dia akan memasukkan kelembutan ke dalam hati mereka.” (HR. Ahmad: 23290)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (yang artinya):
“Sesungguhnya tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu melainkan akan menghiasinya, dan tidaklah kelembutan itu dicabut dari sesuatu melainkan akan menjadikannya buruk.” (HR. Muslim: 4698)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berlaku lembut kepada anak sendiri maupun anak-anak kaum muslimin. Beliau sendiri contohkan ketika menegur anak kecil yang sedang berada dalam jamuan makan. Seperti lazimnya anak-anak, terkadang ambil sana-ambil sini. Beliau menegur dengan sangat halus:
يا غلام، سمِّ اللهَ، وكُلْ بيمينك، وكُلْ مما يليك
Artinya: “Wahai anakku, ucapkanlah bismillah, makan dengan tangan kananmu, dan ambillah dari yang dekat denganmu.”
Sebetulnya tujuan utamanya adalah agar anak tersebut tidak ambil dari sana-sini. Namun beliau awali dengan panggilan yang sangat lembut “yaa ghulaam”, kemudian mengingatkan tentang baca bismillah. Beliau tidak langsung ‘to the point’.
Adapun ketegasan, maka harus tetap ada, tapi tidak mengurangi kelemah lembutan. Ketegasan bukan berarti dengan kekerasan. Sampaikan nilai-nilai dan konsekuensi-konsekuensi dalam memahamkan anak kita. Kita sebagai orang tua yang justru sering tidak sabar memberikan pengertian kepada anak kita.
Pada level dan kondisi tertentu ketegasan bisa dengan memberikan punishment. Contohnya pada anak yang berusia 10 tahun terkait perintah sholat. Ini sesuai arahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
.”مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع واضربوهم عليها وهم أبناء عشر، وفرقوا بينهم في المضاجع”
Artinya: “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila pada usia sepuluh tahun tidak mengerjakan shalat, serta pisahkanlah mereka di tempat tidurnya.” (hadits hasan diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang hasan).
Agar Anak Tetap Menjadi “Ni’mah” (Nikmat) Dan Bukan Niqmah (Bencana)
Dalam bahasa Arab, kata ni’mah dan niqmah hampir sama bunyinya. Namun memiliki arti yang jauh berbeda. Ni’mah artinya kenikmatan, sedangkan niqmah artinya bencana.
Ada 3 hal yang perlu diupayakan agar anak kita sebagai “ni’mah” dan tidak berubah menjadi “niqmah”. Pertama: kesadaran, kedua: pengetahuan, dan yang ketiga: konsistensi dan keseriusan.
1. Kesadaran
Orang tua harus sadar sepenuhnya bahwa anak adalah nikmat. Sadar bahwa anak adalah amanah. Anak adalah titipan dari Allah yang kelak kita akan dimintai pertanggung jawaban.
2. Pengetahuan (Ilmu)
Ilmu lah yang menjadi penuntun agar kita tidak salah jalan dalam mendidik anak. Orang tua harus terus belajar. Jangan hanya menyandarkan kepada sekolah.
Memulainya justru dari rumah, bukan dari sekolah.
Menambah ilmu dan wawasan bisa dilakukan dengan berbagai cara, namun tetap perlu bimbingan. Harus punya “ustadz”. Harus ada gurunya.
3. Amalkan Ilmu dengan Serius dan Konsisten
Mulai dari hal-hal kecil dan bertahap. Banyak hal yang sudah kita ketahui ilmunya namun belum kita laksanakan.
Dengan mempraktekkan akan menambah ilmu, berkah dan keteguhan.
Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam Al Qur’an:
وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا
Artinya: “Dan sekiranya mereka benar-benar melaksanakan perintah yang diberikan, tentu hal itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka)” (QS: An Nisa’: 66)
Dalam menanamkan nilai-nilai pada diri anak-anak kita, perlu proporsional dan bertahap. Contohnya kepada anak kita yang masih balita.
Apa yang paling penting untuk diajarkan? Ajarkan satu kata yang paling penting, yaitu nama Allah subhaanahu wa ta’ala. Perlu sering diulang agar kata ini melekat pada mereka. Dan sebaiknya mereka pertama kali mendengar dari kita sebagai orang tuanya.
Bisa juga memulai dari kalimat yang mengandung kata Allah seperti “bismillah”, “Alhamdulillah”, “allahumma”, dsb. Maka orang tua harus sering-sering menyebut nama Allah. Saat bersin, berdo’a, salam, dsb. Selanjutnya kenalkan dengan lafazh “Laa ilaha illallah”. Meskipun mereka belum mengetahui maknanya.
Anak-anak kita memiliki daya rekam yang luar biasa. Terkadang hal ini baru ketahuan nanti pada saat mereka dapat berbicara. Seorang anak yang rajin mendengarkan Al Qur’an akan lebih cepat menghafal. Ini bukan hanya pada anak yang normal tapi juga pada anak yang cacat.
Contoh yang sangat nyata adalah yang terjadi pada ananda Fajar. Oleh orang tuanya diperdengarkan Al Qur’an selama 24 jam. Sejak masih di inkubator. Subhaananllah, ketika usia sekitar 5 tahun baru ketahuan bahwa anak ini punya potensi menghafal al Qur’an. Saat berusia 10 tahun ananda Fajar sudah hafal lengkap 30 juz dengan hafalan yang sangat kuat.
Selain itu, anak butuh contoh yang bisa dilihat. Butuh keteladanan dari orang tuanya sendiri. Bukan sekedar arahan dan nasehat yang bersifat verbal.
Penulis: Dr. KH. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc., MA
(Pemimpin Umum Wahdah Islamiyah, Wakil Sekertaris Dewan Pertimbangan MUI Pusat dan Ketua Ikatan Dai dan Ulama se-Asia Tenggara)
Comments 1