Dalam keadaan seperti ini umat Islam harus berusaha memperkuat diri dengan segala kemampuan, di segala bidang. Selalu saya ulang, segala bidang. Agar tidak disalah fahami. Seluruh bidang ini sangat penting, baik pendidikan, dakwah, sosial, dan seterusnya.
Tapi memang bidang “siyasah” (politik) saat ini begitu penting. Maka bagi umat Islam Indonesia hari ini, dimana kita sudah memasuki periode masa kampanye Pilpres dan Pileg, harus bersungguh-sungguh untuk memilih siapa yang kita pandang lebih baik.
Bagaimana kita berpartisipasi? Kalau dahulu, pembahasannya adalah seputar boleh dan tidak boleh ikut pemilu. Sekarang bukan itu. Sekarang ini tidak ada keraguan lagi tentang pentingnya ikut pemilu. Bahkan bisa dikatakan wajib kita berpartisipasi. Berpartisipasi dalam Pileg dan Pilpres ini wajib dari pandangan syariah.
Bahkan masih tidak cukup sekedar itu. Sebagai manusia beriman, seharusnya ini dipandang sebagai perjuangan dengan penuh kesungguhan. Ini adalah mujahadah. Penuh kesungguhan dan pengorbanan, perlu kesiapan menghadapi kesulitan-kesulitan.
Kalau kita memilih hanya memikirkan keselamatan diri sendiri, itu bagus. Tetapi tidak cukup, dan itu belum dihitung sebagai perjuangan. Kalau mau dihitung sebagai perjuangan, maka hendaknya setiap muslim yang punya kesadaran harus turut serta. Pemimpin yang akan kita pilih itu bisa menyelamatkan atau mengubah keadaan kita menjadi lebih baik dan bisa menyelamatkan dari keadaan buruk atau lebih buruk lagi.
Maka dia harus perjuangkan, berusaha memenangkannya. Dengan cara mengajak sebanyak-banyaknya orang untuk memilih orang yang kita pilih atau orang yang kita rekomendasikan. Mujahadah kita sekarang adalah “mujahadah suara”. Yaitu bagaimana cara mempengaruhi orang lain, apalagi mereka yang masuk dalam kategori orang-orang dekat kita dari keluarga, anak, istri kemudian tetangga, family handai taulan, kolega, teman kerja, dan seterusnya.
Ini upaya yang harus dilakukan. Partisipasi kita saat ini tidak sekedar berkata, “Jangan golput..” Itu sudah ketinggalan. Seharusnya ajakan kita adalah, “Wahai umat Islam, orang beriman.. mari berjuang secara maksimal untuk memenangkan orang-orang yang kita pandang bisa menyelamatkan atau memperbaiki negeri kita tercinta ini.”
Itu kewajiban bersama. Maka dari itu, jangan sia-siakan kesempatan yang ada. Alhamdulillah kita bersyukur ada kesempatan melakukan perbaikan. Minimal sekali dalam lima tahun. Sebetulnya sepanjang lima tahun itu ada kesempatan dengan amar ma’ruf nahi munkar, ada “al hisaab as siyaasi” sampai pada tingkat kalau terpaksa “kalimatu haqqin ‘inda sulthanin jaa’ir”.
Tapi lima tahun ini sangat berharga. Karena bisa melakukan perbaikan secara mendasar. Ini kesempatan untuk mengganti orang-orang yang sudah susah untuk diingatkan, diperbaiki, atau orang-orang yang “alaa syakilatihim”, orang-orang yang sama saja dengan mereka menjadi pelanjut-pelanjutnya. Maka sepatutnya jangan lagi dipilih. Jangan biarkan mereka yang jadi pemimpin.
Kita pilih orang-orang yang memang ada harapan besar untuk membawa kemaslahan dan membawa perubahan pada umat. Ini yang harus dilakukan di waktu sangat singkat ini. Kurang lebih sekarang kita hanya punya 70 hari. Sekitar 2 bulan lebih sedikit. Padahal itu sangat menentukan, minimal lima tahun ke depan.
Ini minimal. Kenapa minimal? Walaupun ada kesempatan lima tahun lagi, lima tahun berikutnya, tapi kalau kita salah pilih dan orang-orang yang dipilih adalah orang-orang yang rakus kekuasaan, bisa membahayakan negeri ini. Sangat membahayakan umat dan bangsa kalau yang terpilih adalah orang-orang yang menjadikan kekuasaan sebagai tujuan hidup tanpa peduli kemaslahan negara, bangsa, dan umat.
Orang-orang yang hanya berfikir bagaimana cara melanggengkan kekuasaannya, mereka hanya menguntungkan para perampok-perampok kekayaan negeri. Mereka bukan saja berfikir lima tahun, namun bersaha bagaimana caranya bisa berkuasa selama-lamanya.
Para ulama, dalam hal ini MUI di Mukernas III menekankan, wajib bagi para ulama untuk memberikan edukasi tentang politik keumatan dan kebangsaan. Untuk memilih orang-orang yang memenuhi kriteria berdasarkan fatwa-fatwa ulama.
Penulis: Dr. KH. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc., MA
(Pemimpin Umum Wahdah Islamiyah, Wakil Sekertaris Dewan Pertimbangan MUI Pusat dan Ketua Ikatan Dai dan Ulama se-Asia Tenggara)