Persatuan dalam Islam harus benar-benar diupayakan agar terwujud. Mengapa? Agar syariat Allah tetap terjaga dan terlindungi, agar kejayaan Islam kembali bangkit. Kembali bangkitnya peradaban Islam yang penuh keadilan adalah rahmat bagi seluruh alam.
Oleh karena itu, kita harus memahami beberapa poin penting terkait persatuan ini, antara lain:
1. Hukum persatuan menurut syariat adalah wajib.
Dalilnya adalah QS. Ali Imran ayat 103 yang telah disebutkan di atas, yaitu: “Hendaklah kalian berpegang teguh pada tali agama Allah dan jangan berpecah belah (saling memusuhi)”. Juga disebutkan dalam hadits yang kami sebutkan sebelumnya: “alaikum bil-jama’ah” (Hendaknya kalian konsisten bersama al-Jama’ah (kesatuan umat islam).
Kemudian, atas dasar apa kita perlu bersatu? Apakah sekedar karena kita memiliki warna kulit yang sama? Atau asal daerah yang sama?
Dasar atau landasan dibangunnya persatuan umat Islam iman. Bukan sekedar kesamaan ras, suku, warna kulit, asal daerah, dsj.
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang beriman (mukmin) itu bersaudara, maka damaikanlah di antara saudaramu”. (QS Al-Hujurat: 10).
Dalam salah satu hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga ibaratkan umat Islam bagaikan satu tubuh. Sebagaimana kita tahu, komponen terkecil tubuh adalah sel yang kemudian bersinergi menjadi jaringan, dan berikutnya organ.
Antar organ kemudian bersinergi menjadi ‘sistem’. Ada sistem pencernaan, sistem pernafasan, sistem syaraf, sistem peredaran darah, dst. Semua harus bersatu dan bersinergi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مثل المؤمنين في توادهم، وتراحمهم، وتعاطفهم مثل الجسد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى
Artinya, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi dan mengasihi bagaikan satu tubuh, jika ada anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan merasakan demam (lantaran merasakan sakit pula)”.[1]
Dalam hadits lain juga disebutkan,
المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا
“Antara satu mukmin dengan mukmin lain itu ibarat satu bangunan, mereka saling menguatkan satu sama lain”.[2]
Struktur bangunan akan menjadi kuat jika masing-masing bagiannya saling menopang dan melengkapi. Ada yang di bawah, ada yang di atas. Ada yang dipasang di dalam, ada yang di luar. Ada yang fungsinya sebagai penopang kekuatan namun tidak terlihat, dan ada yang sekedar aksesoris dan di pasang paling luar.
Dua hadits ini menjelaskan konsep inti persaudaraan dan persatuan sesama muslim, yaitu saling menguatkan. Bukan malah saling melemahkan dan menambah beratnya beban. Saat yang satu berjuang di medan yang ia anggap mampu, maka mari kita dukung. Jangan ada sikap “menggembosi”, apa lagi jika kita belum mampu melakukan sebagaimana yang mereka kerjakan.
Sebagaimana Allah perintahkan agar kita saling tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa, bukan saling melemahkan.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Artinya: “Dan saling tolong-menolonglah dalam kebaikan dan takwa, dan jangan saling menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan”. (QS. Al-Maidah: 2)
Bahkan, meskipun jalan perjuangan saudara kita yang lain itu tidak sesuai dengan pandangan ijtihad kita, kita tidak boleh melemahkan dan menghalanginya. Tetap wajib saling menasihati secara baik dan lemah lemah lembut, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha:
إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه، ولا ينزع من شيء إلا شانه
Artinya: “Sesungguhnya sikap lemah lembut itu tidaklah ditempatkan pada sesuatu kecuali ia akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu kecuali merusaknya”.[3]
2. Persatuan adalah jalan mudah untuk masuk surga.
Sebagaimana dalam hadits sebelumnya: ”Hendaknya kalian konsisten bersama al-Jama’ah (kesatuan umat islam), dan hindarilah perpecahan, sebab setan itu senantiasa bersama satu orang, dan dia lebih jauh dari dua orang. Siapa saja yang menginginkan tempat terbaik di surga, hendaknya ia menetapi al-Jama’ah”.[4]
Syekh Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithiy rahimahullah menyatakan, “Yang dimaksud konsisten dengan jama’ah adalah bersatu di atas ketaatan kepada Allah Ta’ala. Karena persatuan di atas ketaatan itu merupakan sarana diraihnya berbagai kebaikan.”[5]
3. Persatuan adalah jalan menuju kemenangan, sedangkan perpecahan adalah jalan menuju kekalahan.
Jumlah yang sedikit, atau logistik dan persenjataan yang minim, tidak menjadi problem besar jika umat mampu bersatu. Tengoklah sirah dan sejarah Islam. Begitu banyak peperangan umat Islam dengan jumlah pasukan yang lebih sedikit, tapi mereka tetap mendapatkan kemenangan yang luar biasa.
Mengapa? Karena ada disana ada berkah persatuan yang Allah cintai. Ini yang mengundang datangnya pertolongan dari Allah ta’ala.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ash-Shaff ayat 4:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ (4)
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”
Dalam salah satu statemennya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengingatkan maslahat besar dari adanya persatuan umat Islam. Di kesempatan yang sama, beliau juga jelaskan gambaran besarnya akibat perpecahan umat Islam di zaman beliau.
Beliau katakan, “Perpecahan yang terjadi dalam tubuh umat ini, baik di kalangan ulama dan para masyaikhnya, ataupun di kalangan para pemimpin dan pembesar-pembesarnya, merupakan sebab utama penguasaan musuh-musuh (kaum kuffar) terhadap umat ini. Hal ini (perpecahan) adalah karena mereka meninggalkan amalan ketaatan terhadap perintah Allah dan rasul-Nya. Dan bila mereka saling berpecah belah, mereka pasti akan binasa. Sebaliknya bila mereka bersatu, mereka pasti akan membaik dan berjaya, sebab persatuan itu merupakan rahmat, sedangkan perpecahan adalah azab”. (Majmu’ Al-Fatawa: 19/216).
Saat ini umat Islam dengan berbagai elemennya di negeri ini, sedang melalui jalan terjal ujian terkait persatuan. Tengoklah sejenak sejarah perjuangan bangsa kita.
Dahulu ketika umat Islam bersatu, kita mendapatkan kemerdekaan. Tapi, ketika umat Islam berhasil dipecah belah, maka masuklah Belanda dengan agresi militernya. Perlu kita catat, bahwa kejadian ini terjadi pasca kemerdekaan Indonesia. Masa berikutnya, ketika umat Islam berhasil dipecah belah lagi, terjadilah pemberontakan PKI. Setelah itu kita lihat pula ketika umat bersatu, PKI berhasil dilumpuhkan.
Ironisnya, kemudian pondasi persatuan itu diruntuhkan lagi. Akibatnya terjadilah perpecahan yang besar di masa orde baru. Satu elemen dizhalimi atau dikriminalisasi, dan elemen yang lainnya dipojokkan. Puncaknya, di penghujung era orde baru terjadi demonstrasi besar-besaran pada tahun 1998 menuntut turunnya Presiden Suharto.
Tampaknya, kita belum cukup mengambil pelajaran dan hikmah. Kini perpecahan itu masih terus ada dan bisa semakin parah jika tidak dicegah. Perpecahan ini menimbulkan dampak negatif yang tidak kecil. Apa dampaknya? Kita bisa saksikan munculnya kembali isu kebangkitan PKI, dekadensi moral, pornografi, narkoba, adanya berbagai kasus penistaan Al-Quran, hingga kesenjangan sosial.
Soal persatuan, umat Islam harus memberikan teladan. Di atas pundak umat ini lah kewajiban bersatu diembankan. Sebab, berdasarkan nash wahyu dan realitas sejarah, mereka adalah sebaik-baik khalifah di muka bumi:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
Artinya: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat islam) sebagai umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia…” (QS Al-Baqarah: 143).
Sejarah telah membuktikan bahwa jika kita (umat Islam) bersatu, maka akan menjadi lokomotif persatuan dengan berbagai komponen dan elemen dalam bangsa ini. Oleh karena itu, jangan ada anggapan bahwa persatuan umat Islam akan mengorbankan kepentingan banyak individu, agama, dan etnis lain. Tidak.
Justru sebaliknya, persatuan umat Islam akan membawa bangsa Indonesia ini menjadi bangsa yang besar dan jaya atas izin Allah subhanahu wata’ala.
Bila Umat Tidak Bersatu
Orang-orang kafir saja bersatu dalam menghadapi kaum muslimin, kenapa kita tidak? Perhatikan firman Allah ta’ala di dalam Al Qur’an:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
Artinya: “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain.” (QS Al Anfal: 73)
Ayat ini menunjukkan bahwa mereka bersatu.
Kalau kita? Apa akibatnya jika umat tidak bersatu? Jawabannya ada pada lanjutan ayat di atas:
إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ
Artinya: “..jika kalian (wahai kaum muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu (mewujudkan persatuan), niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar..” (QS Al Anfal: 73)
[1] . HR Muslim (2586)
[2] . HR Muslim (2585)
[3]. HR Muslim (2594)
[4] . HR Ahmad (1/18) dan Tirmizi (2165) dan selain mereka. Tirmizi berkata, “Hadisnya hasan shahih garib”.
[5] . Syarah Sunan An-Nasaiy (5/1742)
Penulis: Dr. KH. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc., MA
(Pemimpin Umum Wahdah Islamiyah, Wakil Sekertaris Dewan Pertimbangan MUI Pusat dan Ketua Ikatan Dai dan Ulama se-Asia Tenggara)