Sekarang ini banyak keluhan dari orang tua tentang perilaku anaknya. Baik yang masih kanak-kanak maupun yang remaja. Ada anak SD merokok. Ada anak SMP terjerumus seks bebas, dan sebagainya.
Salah satu jalan menghancurkan Islam adalah dengan menghancurkan generasi mudanya.
وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً ۖ
Artinya: “Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka)..” (QS. An Nisa’ : 89).
Mereka ingin kita sama rusaknya. Mereka tidak ingin lihat generasi kita lurus. Mereka cemburu jika generasi kita bagus.
Target mereka bukan mengubah agama dari Islam kemudian murtad, bukan sekedar itu. Tapi targetnya adalah menjauhkan orang Islam dari agamanya. Ini yang dikatakan oleh Samuel Zhweimer hampir seabad yang lalu.
Salah satu kunci Pendidikan anak yang diajarkan oleh Islam adalah mendasarkan pada kasih sayang. Banyak yang tidak berhasil atau salah asuh, kerena kurangnya kasih sayang dalam mendidik. Atau sebaliknya, memberikan kasih sayang yang tidak pada tempatnya.
Urgensi kasih sayang dalam pembinaan anak, bisa kita temukan dalam banyak praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. “Tarbiyah bil hub” (mendidik dengan cinta) akan sangat kuat dalam membentuk pribadi anak. Jika unsur penting ini tidak tertanam, maka dampaknya akan sangat fatal.
BACA JUGA: Wasiat Untuk Suami Istri (Bag 1): Anak Kita Adalah Mutiara Terpendam
Seluruh ajaran Islam itu mengandung kasih sayang. Bahkan dalam hukuman sekalipun. Sebagai contoh, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sosok penyayang yang suka memeluk, menggendong, bahkan ketika cucunya mengompol. Pakaian bisa dicuci, tapi perasaan anak perlu dijaga.
Contoh lain unsur kasih sayang dalam ajaran Islam, bisa kita lihat pada fikih terkait imam shalat. Tuntunan bagi para imam ketika mendengar ada anak menangis dan sepertinya ibunya ikut shalat, maka percepat shalatnya.
Contoh berikutnya, soal mencium anak. Pernah ada salah seorang sahabat yang memiliki sepuluh anak tapi tidak pernah mencium. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkannya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu anha, dia berkata, “pernah ada beberapa orang badui yang mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka mengatakan, ‘Apakah kalian mencium anak-anak kalian?’
Para Sahabat menjawab, ‘Ya.’ Lebih lanjut orang-orang badui itu berkata, ‘Demi Allah, kami tidak pernah mencium mereka.’
Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَوَأَمْلِكُ إِنْ كَانَ الله نَزَعَ مِنْكُمُ الرَّحْمَةَ.
Artinya: ‘Aku tidak berkuasa apa-apa jika Allah mencabut rahmat (kasih sayang) dari hati kalian.’” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Sedangkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia menceritakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium Al Hasan bin ‘Ali sedang bersama beliau ada Al Aqra’ bin Habis At Tamimi yang sedang duduk.
Lalu Al Aqra’ berkata, ‘Sesungguhnya aku memiliki sepuluh orang anak, tetapi aku tidak pernah mencium satupun pun dari mereka.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memandangnya seraya berucap:
مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ.
Artinya: “Barangsiapa tidak menyayangi sesamanya, maka dia pun tidak akan disayangi.’” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Contoh berikutnya, soal menyapa. Ini pernah terjadi pada adik Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang panggilannya adalah Abu Umair.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya sedang murung, beliau tidak segan manyapanya. “Yaa Aba Umair maa fa’ala An Nughair? Wahai Abu Umair, Nughair (nama burungnya yang mati) sedang apa sekarang?”
Sapaan tersebut adalah sapaan yang lembut dan penuh kasih sayang. Padahal posisi beliau adalah pemimpin tertinggi, dengan tingkat kesibukan yang luar biasa.
BACA JUGA: Wasiat Untuk Suami Istri (Bag 2): Utamakan Kelembutan dalam Mendidik Anak
Maka sebaiknya kita juga sapa-sapa kalau melihat anak kecil di masjid atau di pengajian. Ketika kita lihat anak saudara kita, anak tetangga, dst.
Sapalah mereka dengan sapaan yang membanggakan dan membesarkan hati. Misalnya dengan mengatakan “Apa kabar mujahid kita ini?” Ini adalah sapaan yang sekaligus mengandung do’a. Contoh lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah ikut bermain bersama anak-anak.
Ketika ada salah satu anak kita yang menjulurkan tangannya ingin sesuatu atau ingin memperlihatkan sesuatu, maka layani dulu. Upayakan kalau anak sedang berada dalam posisi yang enak, kita yang menyesuaikan.
Kisah yang cukup masyhur, ketika Al Hasan dan Al Husain radhiyallahu ‘anhuma meminta gendong saat beliau jadi imam. Beliau tidak menurunkannya.
Ini sekaligus menjadi contoh bagi kita, jangan ada wajah-wajah tidak bersahabat bagi anak-anak di masjid. Sebetulnya, kalau hanya sekedar suara anak-anak, itu tidak mengganggu shalat.
Yang tidak kalah penting adalah para ibu. Jangan ghurur (tertipu) dengan pepatah “Kasih Ibu sepanjang jalan”, lalu tidak merasa perlu memperhatikan kasih saying dalam mendidik.
Misalnya ketika anaknya protes, langsung didebat. Para istri, para ibu, jangan mudah emosi dan memberi hukuman fisik kepada anak. Akan berbahaya jika anak menjadi jera hanya karena hukuman fisik. Misalnya anaknya terlalu lama menangis, kemudian dicubit agar segera diam.
Kasih sayang tidak mengurangi ketegasan dalam pembinaan. Al Hasan pernah dipaksa muntah ketika makan kurma sedekah. Ini salah satu contoh bentuk ketegasan.
Ketika anak merengek-rengek mau ikut ibunya. Kadang senjatanya adalah ditakut-takuti, atau dibohongi dengan permen. Nah, ini tidak bagus.
Bagaimana solusinya? Buat persiapan. Ajak anak bicara dari hati ke hati. Kalau perlu sehari sebelumnya.
Kalau anak kita bilang, “Aku ikut”. Jawab, “Tidak bisa, Nak. Di sana tidak ada anak-anak,” Berikan pengertian dan jangan menyerah. Tapi jangan juga pakai ancaman.
Biasanya, setelah itu dan hari-hari berikutnya anak bisa menerima. Kalaupun masih menangis, in syaa Allah hanya sebentar.
Penulis: Dr. KH. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc., MA
(Pemimpin Umum Wahdah Islamiyah, Wakil Sekertaris Dewan Pertimbangan MUI Pusat dan Ketua Ikatan Dai dan Ulama se-Asia Tenggara)