BALI – Wahdah Islamiyah Buleleng sukses menggelar Dialog Kebangsaan di Singaraja, yang mengundang senator DPD RI asal Bali, Ustadz Bambang Santoso dan Pemimpin Umum Wahdah Islamiyah Ustadz Zaitun Rasmin, pada hari Ahad (25/02/24),
Dialog kebangsaan dihadiri oleh masyarakat, aparat pemerintah dan tokoh masyarakat, dengan mengangkat tema “Meningkatkan Soliditas dan Kolaborasi untuk Indonesia Maju”.
Mengawali paparannya, Ustaz Bambang Santoso menyoroti fenomena perpecahan yang saat ini terjadi dalam internal umat Islam. Menurut senator yang juga Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Bali ini, fenomena tersebut disebabkan masih kurangnya pemahaman umat Islam terhadap agamanya.
“Bukan Islam yang salah. Cara beragama kita yang harus dikoreksi. Sehingga tidak dapat bersatu,” ungkapnya.
Ustaz Bambang mengangkat contoh di era Imam Al Ghazali yang mirip dengan kondisi umat Islam hari ini. Situasi di zaman itu, umat Islam sedang menghadapi ancaman namun di dalamnya justru terjadi perpecahan.
“Di zaman itu umat Islam dalam keadaan lemah. Ada ancaman Perang Salib. Namun di dalam internal umat justru terjadi perselisihan antar madzhab yang saling cari pengaruh,” tegasnya.
![](https://zaitunrasmin.id/wp-content/uploads/2024/02/Dialog-Kebangsaan-di-Bali-Ustadz-Zaitun-Rasmin-Serukan-Kolaborasi-dalam-Mencegah-Kemungkaran-dan-Kezaliman-1024x625.jpeg)
Mengawali paparannya, Ustadz Zaitun menjelaskan bahwa telah terbukti dalam sejarah, Islam pernah berhasil menghadirkan keadilan dan kesejahteraan.
“Selain itu, umat Islam juga harus saling berkolaborasi dalam skala lokal maupun nasional. Kolaborasi adalah bentuk implementasi konsep ukhuwah yang ada dalam Islam” terangnya.
Menurutnya, dalam Islam ada empat lingkaran soliditas dan kolaborasi. Lingkaran paling dalam yang harus dikuatkan soliditas dan kolaborasi adalah Al Mu’minun (orang-orang beriman).
“Soliditas yang sangat kuat, namun tidak eksklusif. Kekuatan dan soliditasnya harus menjadi daya tarik bagi lingkungan sekitarnya,” jelasnya.
Lingkaran berikutnya menurut beliau adalah lingkaran “Al Muslimun” (orang Islam). Maksudnya yang kualitas keimanannya belum sekuat lingkaran yang pertama.
“Kita harus bisa bekerja sama dengan semua itu. Sepanjang mereka adalah muslim. Terlepas apapun latar belakang ormas atau madzhabnya. Asalkan bukan kelompok yang jelas menyimpang,” lanjutnya.
Lingkaran berikutnya menurut beliau adalah lingkaran “ahlul kitab”. Menurutnya masih ada peluang untuk bekerjasama dengan ahlul kitab sebagaimana Al Qur’an membahasakan dengan istilah kalimatun sawaa’.
![](https://zaitunrasmin.id/wp-content/uploads/2024/02/Dialog-Kebangsaan-di-Bali-Ustadz-Zaitun-Rasmin-Serukan-Kolaborasi-dalam-Mencegah-Kemungkaran-dan-Kezaliman-1-1024x680.jpeg)
Sedangkan lingkaran terluarnya adalah “umat manusia”. Ustadz Zaitun menyampaikan bahwa Al Qur’an juga sering menyebut mereka dengan panggilan “yaa ayyuhan naas” yang artinya wahai umat manusia.
Beliau menjelaskan bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dulu pernah membuat pakta kesepahaman bersama orang-orang musyrik dalam rangka menolak kezaliman. Pakta tersebut dikenal dengan sebutan Hilful Fudhul yang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam puji di zaman Islam.
Atas dasar itu maka menurut beliau, kita juga harus berkolaborasi dengan semua komponen bangsa untuk menjaga nilai-nilai universal tersebut.
“Manusia ini memiliki nilai-nilai universal yang sama. Karena mereka adalah ciptaan dari tuhan yang satu. Maka kita bersama semua komponen bangsa apapun latar belakang agamanya, harus sama-sama berkolaborasi dan berkomitmen untuk mencegah kemungkaran, kezaliman, kemiskinan,” pungkasnya.
Laporan: Media UZR
Maa Syaa Allah Ustadzuna Al Fadhil Ustadz
Zaitun Rasmin, semoga Allah menjaga Beliau dan memberinya umur panjang
Barakallahu fikum