Anak Adalah Nikmat Dari Allah
Anugerah berupa keturunan adalah salah satu nikmat terbesar yang Allah berikan kepada manusia. Keinginan memiliki keturunan adalah bagian dari insting atau “gharizah” bawaan manusia. Oleh karena itu, hampir semua orang bercita-cita untuk memiliki keturunan.
Sejak lahir, anak sudah menjadi nikmat tersendiri. Di antara bentuknya, anak kecil yang imut sangat menyenangkan ketika dipandang. Bahkan orang kulit putih pun tetap merasakan kesenangan tersendiri ketika melihat anak kecil berkulit hitam.
Al Qur’an Sendiri Menyebut Anak Sebagai Penyejuk Mata
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ
Artinya: “Dan orang orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai qurratu a’yun (penyejuk mata) kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al Furqan: 74)
Sebagaimana juga ucapan Asiyah istri Fir’aun kepada suaminya agar dia tidak membunuh bayi Nabi Musa:
قُرَّةُ عَيْنٍ لِي وَلَكَ…
Artinya: “Dan istri Fir’aun berkata, “(Dia) adalah penyejuk mata hati (qurratu ‘ain) bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan dia bermanfaat kepada kita atau kita ambil dia menjadi anak,” sedang mereka tidak menyadari.” (Al Qashash: 9)
Allah juga menyebut kenikmatan surga sebagai “qurratu a’yun”, bahasa yang sama ketika menyebut anak:
فَلاَ تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ
Artinya: “Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (QS As Sajdah: 17)
Dalam perspektif Islam, anak merupakan nikmat bukan hanya di dunia. Tapi akan dirasakan sebagai nikmat hingga kelak di akhirat. Anak adalah investasi. Orang tua akan terus mendapat aliran pahala dari do’a maupun amal-amal kebaikan mereka.
Termasuk anak yang wafat ketika masih kecil atau sebelum baligh. Anak tersebut kelak akan datang sebagai pemberi syafa’at bagi kedua orang tuanya pada hari kiamat. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam.
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنَ النَّاسِ مِنْ مُسْلِمٍ يُتَوَفَّى لَهُ ثَلاَثٌ لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ ، إِلاَّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إِيَّاهُمْ
Artinya: “Tidaklah seorang muslim yang ditinggal mati oleh tiga anaknya, yang belum baligh, kecuali Allah akan memasukkannya ke dalam surga dengan rahmat yang Allah berikan kepadanya.” (HR. Bukhari 1248 dan Nasai 1884)
Kemudian, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ لَهُ ثَلاَثَةٌ مِنَ الْوَلَدِ لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ كَانَ لَهُ حِجَابًا مِنَ النَّارِ ، أَوْ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Artinya: “Siapa yang ditinggal mati tiga anaknya yang belum baligh, maka anak itu akan menjadi hijab (tameng) baginya dari neraka, atau dia akan masuk surga.” (HR. Bukhari – bab 91)
Termasuk bayi keguguran, yang meninggal dalam kandungan,
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shalallahu alaihi wa Sallam bersabda,
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ إِنَّ السِّقْطَ لَيَجُرُّ أُمَّهُ بِسَرَرِهِ إِلَىْ الجَنَّةِ إِذَا احْتَسَبَتْهُ
Artinya: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, sesungguhnya janin yang keguguran akan membawa ibunya ke dalam surga dengan ari-arinya APABILA IBUNYA BERSABAR (atas musibah keguguran tersebut).” (HR Ibnu Majah 1609 dan dihasankan al-Mundziri serta al-Albani)
Anak Adalah Amanah
Anak adalah amanah yang tidak boleh dibiarkan dan disia-siakan. Sebagaimana handphone, uang, semua harta, ilmu, dan sebagainya yang Allah karuniakan kepada kita, pada hakikatnya adalah nikmat sekaligus amanah.
Menyia-nyiakannya adalah dosa, dan menyia-nyiakan anak dosanya jauh lebih besar. Pertanggung jawabannya di hari kiamat kelak akan jauh lebih berat.
Bukan hanya itu, bahkan dampaknya juga bisa dirasakan sejak masih di dunia. Betapa banyak orang tua yang menjadi sengsara di dunia, karena si anak tidak terdidik dan terbina dengan baik.
Ketika si anak sudah baligh maka dia menjadi mukallaf. Mukallaf artinya sudah terkena beban syari’at dan bertanggung jawab langsung kepada Allah. Namun bukan tanggung jawab orang tua lepas sepenuhnya terhadap sang anak. Anak kita tetap butuh bimbingan dan arahan.
Penulis: Dr. KH. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc., MA
(Pemimpin Umum Wahdah Islamiyah, Wakil Sekertaris Dewan Pertimbangan MUI Pusat dan Ketua Ikatan Dai dan Ulama se-Asia Tenggara)
Comments 1