Sebagian kaum muslimin menganggap ini adalah sesuatu yang biasa saja. Ikut tidak ikut, tidak akan merubah keadaan. Bahkan ada yang di bawah itu, menganggap ikut Pemilu adalah perbuatan sia-sia. Bahkan ada yang lebih parah dari itu, yang menganggap ikut Pemilu adalah bid’ah. Masih ada yang di bawahnya lagi, yang menganggap ini haram dan tidak sesuai dengan syariat.
Pandangan-pandangan seperti itu perlu diluruskan. Pemikiran-pemikiran seperti ini harus dihilangkan dari umat dengan pencerahan atau edukasi. Karena ini akan sangat merugikan umat. Apalagi di tengah-tengah pertarungan umat yang sangat luar biasa seperti sekarang ini.
Umat Islam, khususnya mereka yang punya kesadaran tinggi tentang eksistensi Islam dan kaum muslimin, merasakan betapa keadaan sekarang ini tidak baik-baik saja. Selain memang keadaan umat masih sangat banyak yang jauh dari keadaan ideal, kita bisa saksikan masih merajalelanya kesyirikan, kelalaian ibadah, kerusakan akhlak, dan berbagai persoalan dalam muamalah sehari-hari yang jauh dari syariat.
Di sisi lain, ada orang-orang yang bekerja keras untuk menghancurkan umat. Bukan hanya orang perorang, tapi gerakan terorganisir. Dengan upaya dan konspirasinya, baik level nasional ataupun global. Tujuan mereka menghancurkan umat.
Mereka serang dari sisi akidah, kepribadian, akhlak, dann pada din (agama)-nya secara umum. Ini bukan rahasia lagi, langsung atau tidak langsung. Ada yang bisa langsung kita ketahui fenomenanya, ada yang hanya diketahui orang tertentu.
Dalam keadaan seperti itu, maka perjuangan umat di segala bidang menjadi sangat penting. Dalam bidang dakwah, pendidikan, dan termasuk dalam bidang “siyasah” atau politik.
Kepemimpinan dalam kehidupan manusia adalah hal yang penting. Semua orang tahu itu. Kalau ada yang menganggap ini tidak penting, berarti dia “jahil murakkab” (orang yang tidak tahu, tapi tidak sadar kalau dirinya tidak tahu).
Dalam syariat Islam ditegaskan tentang kepemimpinan ini. Dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang mudah kita pahami, dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu disimpulkan oleh para ulama kita.
Dalam Al-Qur’an, yang paling gampang itu bisa kita lihat bahwa tema kepemimpinan disebutkan berulang-ulang dan lebih terinci daripada ayat-ayat sholat. Walaupun ayat-ayat sholat begitu banyak, tapi rinciannya itu tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an tapi dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam Al-Qur’an, tema kepemimpinan banyak disebut dan sekaligus diuraikan dalam beberapa ayat. Misalnya tentang hakikat kepemimpinan hanya milik Allah subhanahu wata’ala yang kemudian didelegasikan kepada manusia-manusia pilihan.
Orang-orang pilihan itu adalah para Nabi dan Rasul, hingga Nabi dan Rasul tiada. Terakhir pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu didelegasikan lagi kepada orang-orang yang beriman.
Dan begitu menyebut orang beriman dalam kepemimpinan, disebutkan diantara syarat mereka atau sifat mereka yakni menegakkan sholat, menunaikan zakat, dan tunduk patuh pada Allah subhanahu wata’ala.
Allah ta’ala berfirman dalam Surah Al-Ma’idah ayat 55:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
Artinya: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).”
Disitu sangat jelas, di ayat lain dijelaskan tentang kepemimpinan ini. Betapa pentingnya kita taat kepada Allah ta’ala dan kepada para pemimpin.
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (An Nisa: 59)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang lain. Termasuk kisah-kisah tentang kepemimpinan pada Nabi Ibrahim, Nabi Musa, lebih lagi tentang kepemimpinan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Diantaranya ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diperintahkan untuk melakukan syura. Ini sekedar contoh-contoh singkat. Semacam capita selekta saja untuk memudahkan, memberikan gambaran tentang pentingnya kepemimpinan.
Selanjutnya kita bisa merujuk pada penjelasan para ulama kita. Misalnya Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam As-Sulthaniyah. Beliau menegaskan bahwa pengangkatan imam itu wajib secara ijma’.
Beliau awali dengan penjelasan tentang apa itu “imamah”.
الْإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا
Kata beliau, imamah (kepemimpinan umat) dibentuk untuk menggantikan posisi kenabian dalam mengurus urusan agama dan mengatur kehidupan dunia.
Jelas sekali dari sini tentang fungsinya. Kemudian di ujung kalimatnya, Imam Al-Mawardi menegaskan tentang kedudukan atau hukum
mengangkat pemimpin dalam Islam:
وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقومُ بِهَا فِي الْأُمَّةِ وَاجِبٌ بِالْإِجْمَاع
Menyelenggarakan kepemimpinan di tengah umat, hukumnya wajib secara ijma’.
Yang namanya ijma’, jika ijma’ itu adalah ijma’ yang shahih, ijma’ ma’ruf, atau ijma’ masyhur, maka kekuatan dan kedudukannya bisa menjadi dalil.
Sumber pertama dan dasar utama penetapan syariat adalah ayat dan hadits. Tetapi ketika dikatakan telah terjadi ijma’, artinya sudah terkandung di dalamnya ayat dan hadits. Dan tidak ada perbedaan pendapat dalam penafsiran ayat-ayat dan hadits-hadits yang menunjukkan hal ini.
Begitu pula dijelaskan oleh Imam An Nawawi ketika mensyarah Shahih Muslim. Beliau katakan:
أجمعوا على أنه يجب على المسلمين نصب خليفة
Wajib bagi kaum muslimin untuk mengangkat pemimpin. Kata “khalifah” dalam konteks ini maksudnya adalah pemimpin.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga menjelaskan berkenaan dengan hal ini. Beliau mengatakan bahwa mengangkat pemimpin adalah kewajiban yang sangat penting dan sangat agung dalam Islam. Bahkan “din” (agama) tidak akan tegak tanpa adanya kepemimpinan itu.
Beliau mengatakan,
فإنَّ بني آدم لا تتم مصلحتهم إلا بالاجتماع، لحاجة بعضهم إلى بعض
“Sesungguhnya bani Adam tidak akan bisa mewujudkan kemaslahatan mereka
kecuali kalau mereka berkumpul bersatu. Karena mereka saling membutuhkan satu sama lain.”
Nah, setelah mereka berkumpul maka disinilah wajibnya keberadaan seorang pemimpin. Beliau katakan lagi,
ولا بد لهم عند الاجتماع من رأس
“Ketika mereka telah bersatu dan berkumpul, maka harus ada pemimpinnya.”
Penulis: Dr. KH. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc., MA
(Pemimpin Umum Wahdah Islamiyah, Wakil Sekertaris Dewan Pertimbangan MUI Pusat dan Ketua Ikatan Dai dan Ulama se-Asia Tenggara)