Nah, persoalan ini sering dipertanyakan. “Ustad, kan ini sistem demokrasi. Bagaimana, apakah kita bisa ikut?” Pembahasan terkait ini sebetulnya sudah hampir selesai.
Sebetulnya, selama ini umat sudah menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari. Bukan semata-mata dalam urusan bernegara, urusan pemilu, atau pilpres. Jadi kita tidak perlu lagi terlalu banyak berdebat tentang istilah. Apalagi kata para ulama, “laa musyaahata fil ishtilah” (tidak perlu banyak berdebat tentang istilah tapi lihat substansinya).
Pada prinsipnya, itu sudah diamalkan dan pengamalannya secara umum mengacu pada arahan para ulama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas-ormas Islam juga memandang bagian-bagian dari apa yang disebut dengan demokrasi itu tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Adapun tentang demokrasi dari sisi istilah dan seluruhnya, biarlah para ulama yang mendiskusikannya. Tapi dalam pengamalan, sekali lagi kita lihat hampir semua ormas Islam menerapkan itu. Contohnya bisa kita lihat dalam prosesi pemilihan pemimpin atau ketua. Mereka memilih perwakilan menggunakan formatur. Itu semua menunjukkan bahwa ada hal-hal yang sudah jelas sekali dilaksanakan seperti yang ada dalam kehidupan bernegara.
Maka saat ini kita berharap umat Islam fokus kepada bagaimana mewujudkan kepemimpinan yang terbaik atau yang lebih baik dari yang baik-baik. Atau yang baik dari yang buruk-buruk. Atau yang paling ringan mudharatnya, paling ringan keburukannya di tengah-tengah keadaan yang saya gambarkan tadi yang memprihatinkan.
Kesalahfahaman terkait Kepemimpinan dan Sistem yang Berlaku
Selama ini ada pemahaman yang keliru dari sebagian kaum muslimin tentang sistem yang ada. Seolah-olah ini hanya berlaku jika semua sistemnya sudah islami. Sehingga kalau sistemnya dianggap tidak jelas atau tidak islami, konsep ini dianggap tidak berlaku. Itu merupakan kekeliruan.
Mengapa? Karena syariat Islam yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala ini akan terus aktual. Syariat ini bisa survive dan akan terus relevan. Dalam segala keadaan, kapanpun dan dimanapun.
Kalau tuntunan syariat ini ditinggalkan justru akan mengakibatkan hilangnya kemaslahatan umat. Sebaliknya, yang terjadi adalah kemudharatan.
Apalagi dalam masalah-masalahpersoalan krusial seperti ini. Cara memandangnya tidak bisa sekedar hitam putih seperti dalam ibadah mahdhah.
Ini adalah persoalan yang ketika ada kekurangannya, tidak membuat kita harus meninggalkan seluruhnya. Seperti kata para ulama, “maa laa yudraku kulluhu laa yudraku kulluhu au julluhu”. Apa yang tidak bisa diraih seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan seluruhnya atau tidak boleh ditinggalkan sebagian besarnya.
Bukankah dalam kehidupan keseharian kita sering alami, begitu banyak hal-hal yang tidak ideal dalam pandangan syariat Islam tetapi kita tidak boleh meninggalkannya? Kecuali kalau kita tinggal di dalam goa-goa atau di puncak-puncak gunung sendirian.
Umat Islam dianjurkan untuk hidup di tengah-tengah manusia, berbaur untuk mengajak manusia ke jalan Allah ta’ala. Agar risalah (syariat Islam) dapat mereka laksanakan, lalu disebarkan di tengah-tengah manusia.
Persoalan kepemimpinan ini masuk dalam kategori mu’amalah. Disini berlaku ka’idah, selama tidak bertentangan dengan syariat, tidak ada diktum, tidak ada ayat atau hadits yang jelas-jelas dilanggar maka pada prinsipnya boleh. Ini masuk pada kategori “al-ashlu bil asy-ya’ al-ibahah” (hukum asal segala sesuatu adalah mubah).
Persoalan ini, landasan umumnya adalah maslahah. Yaitu bagaimana menghadirkan sebesar-besarnya maslahat untuk umat. Atau menghilangkan kemungkaran dan kemudharatan, atau memperkecilnya. Sekali lagi, selama dia tidak bertentangan secara langsung dengan syariat Islam.
Penulis: Dr. KH. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc., MA
(Pemimpin Umum Wahdah Islamiyah, Wakil Sekertaris Dewan Pertimbangan MUI Pusat dan Ketua Ikatan Dai dan Ulama se-Asia Tenggara)