Ada peristiwa yang menarik ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah. Dalam riwayat yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika telah keluar dari Makkah dan tiba di suatu bukit, beliau kembali menoleh ke Makkah. Kemudian beliau ungkapkan rasa cintanya kepada kota Mekkah sebagai kampung halaman.
Beliau katakan, “Alangkah baiknya engkau wahai Makkah. Dan alangkah besarnya cintaku padamu. Betapa aku sangat mencintaimu wahai Makkah” lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lanjutkan “Andaikan bukan karena kaummu mengusir aku, maka aku tidak akan meninggalkanmu. Aku tidak akan pergi dan tinggal di tempat yang lain”.
Jelas sekali, cinta ketika kepada Mekkah disini adalah cinta thabi’i, cinta yang alami. Dan itu menjadi dasar bagi kita untuk bolehnya mencintai kampung-kampung kita dan tanah air kita. Ini adalah hal yang alami.
Anehnya, sebagian kita kaum muslimin ada yang keliru, menganggap kalau seseorang mengatakan cinta pada tanah air kemudian dianggap ashabiyyah yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
Ini terjadi karena kita kurang mengkaji secara mendalam. Memang dahulu para ulama mengingatkan akan bahaya nasionalisme, tapi dalam konteks apa mereka menyampaikan itu?
Cinta tanah air yang tidak dibenarkan, adalah jika cinta itu menyebabkan kita benci kepada orang lain hanya karena dia bukan sebangsa dan setanah air dengan kita. Atau tidak sekampung dengan kita. Ini yang tidak boleh. Hanya karena bukan orang Indonesia kemudian kita tidak suka, dan kalau orang Indonesia pasti kita suka betapapun bejatnya. Sekali lagi, ini tidak boleh.
Hal seperti itu adalah cinta buta. Tidak boleh demikian. Apalagi dalam Islam, ada konsep al wala’ wal bara’. Cinta kita kepada negara dan bangsa, termasuk dengan sesama anak bangsa, adalah cinta yang thabi’I (alami). Karena faktor kedekatan, sebagaimana cinta pada tetangga, kawan, saudara, dsb. Yang paling jelas sekali dalam syariat, ada perintah menjaga hak tetangga, dan ini bias dikiaskan kesitu.
Jadi jika cinta itu menyebabkan kita membenci orang lain padahal mereka lebih baik, maka ini adalah hal yang keliru. Dan dari sinilah para ulama memperingatkan tentang nasionalisme. Maksudnya nasionalisme yang tidak pada tempatnya.
Jangan lupa bahwa ini ada sejarahnya. Dulu ketika para penjajah datang ke negeri-negeri kaum muslimin, memang merekalah yang menghidupkan paham nasionalisme itu. Dengan satu tujuan: untuk memecah-belah seluruh negeri-negeri kaum muslimin.
Karena itu, apabila kita membaca atau mendengar ada ustadz atau ulama yang membahas tentang nasionalisme yang bertentangan dengan Islam, sebetulnya konteksnya disitu.
Adapun konteks cinta tanah air yang alamiah, membela tanah air yang merupakan tempat tinggal kita, tempat tinggal kaum muslimin, ini bukan saja dibolehkan bahkan diwajibkan. Jangankan membela tanah air, membela rumah kita kalau ada perampok saja wajib mempertahankan diri.
Penulis: Dr. KH. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc., MA
(Pemimpin Umum Wahdah Islamiyah, Wakil Sekertaris Dewan Pertimbangan MUI Pusat dan Ketua Ikatan Dai dan Ulama se-Asia Tenggara)